Espresso Bone
#Short Story 1sT
Bukan kematian yang ku takutkan
tapi proses kematian dan sesudah proses itulah yang ku takutkan . Bukan
pahitnya kehidupan yang ku takutkan, tapi ketika kamu tidak lagi di hidup ku
dan telah menghilang dari bayang-bayang ku untuk selamanya. Mata dan hati ini
telah mengenal mu sejak lama dan jiwa ini tidak mampu menahan separuh hati mu
untuk tetap bersemayam di hatiku.
Secangkir kopi coklat tidak lagi ku
lihat di pinggiran kamar ku. Tubuh mu yang lebih terbalut tulang bukan
sebongkah daging, rasanya menohok mataku. Kemana kau perginya?
Kau benar-benar berhasil membuat ku
berfantasi, membayangkan jikalau kau ada di dalam hati ku dan jiwaku. Aku tidak
perduli orang mau berkata apa tentang kau, tapi yang lebih ku perdulikan adalah
kata hati ku. Biarlah segelas air putih ini tidak berhasil menggantikan
secangkir kopi coklat mu lagi, tapi secangkir cinta dan ketulusan pun aku
dapatkan dari senyuman dan sorotan mata mu kepada mata ku.
Begitu marvelous and its so nice,
aku bisa menikmati mu ketika pintu kamar mu terbuka sedikit.
Bau kopi bekas rasanya tengah
bersetubuh hebat dengan hidung ku. Fantasi itu ingin ku dapatkan kembali.
Detikan menit telah berganti detikan jam, kini fantasi telah berganti dengan
fantasi paling buruk sedunia.
Ah, aku cemburu dengan apa yang kau lakukan
kepada cangkir kopi mu. Cangkir itu rasanya ingin ku lemparkan jauh-jauh dari
kehidupan mu. Sehingga aku bisa menggantikan cangkir itu untuk kau pagut dengan
mesrah. Tapi rasanya itu tidaklah mungkin untuk ku lakukan. Sudahlah ku ikhlas
kalau kau berpagut mesrah dengan cangkir bodoh itu.
Ku pandangi lama-lama foto mu di
dalam layar handphone ku. Foto yang ku ambil diam-diam ketika kau terjaga di
dalam tidur mu. Kau begitu menggoda, kau berhasil membuat libido ku menjadi
layaknya pegunungan, naik turun tidak teratur. Hidung mu bak jarum yang tebal,
mungkin setebal stabilo ku yang dibuat oleh negara Jerman. Mulut mu yang tebal
menambah daya tarik mu. Oh Tuhan, kau benar-benar indah. Ingin rasanya ku
menikmati mu lebih lama. Tapi sekali lagi, kau telah pergi, entah kapan ku kan
bertemu dengan mu lagi. Kau pergi seminggu yang lalu, dan kepergian mu
dihantarkan oleh beberapa orang kampung, mungkin lumayan banyak ku bilang.
Padahal kala itu aku
ingin aku seorang yang menghantar kan mu, tapi mereka bilang aku tidak akan
kuat, lagi pula aku bukan keluarganya kata mereka. Dasar memuakkan perilaku
mereka. Aku ingin menikmati hari terakhir ku bersama kau, hanya berdua. Aku
ingin menikmati atrak ketika kau mencumbui pinggiran cangkir mu yang di
dalamnya terdapat kopi coklat, espresso. Bukan cumbuan mu yang berhasil membuat
ku bahagia, tapi lekukan tulang mu lah yang berhasil membuatku tersenyum.
Semanis dan sepahit espresso yang kau minum.
Nay,
@ASramaPPSDMS#009- 17 Februari 2013
Selesai
Mohon diberi spasi/ jarak antar-paragraf. Biar mata pembaca jadi nyaman untuk ambil napas ganti paragraf. Renungan yang apik.
BalasHapus