Onaantastbaar
Memang
benar usiaku sudah tidak lagi muda. Tak lagi muda seperti dulu, saat benda
tipisku masih terjaga dengan baik. Tapi kini benda itu tak lagi terjaga,
setelah empat orang brengsek berhasil merenggutnya. Semua merenggutnya dengan
legal, bahkan disaksikan oleh negara yang dikatakan juga biadab ini. Bagaimana
tidak biadab, mereka sebenarnya juga menjual kami, kami kaum perempuan. Nanti bakal
ku tunjukkan bagaimanan negara ini menjual dan membeli kami dengan harga yang
rendah.
Mereka
bertopeng manis, sampai-sampai tidak banyak orang yang tahu kelakuan negara ini
negara biadab. seolah-olah mereka melindungi ku dan teman-teman ku yang diluar
sana. Mereka menghadirkan program penekanan penduduk dengan kemasan nama yang
menurutku menjijikkan. Program perencanaan, program apa coba itu! Kenapa mereka
menekan kami dengan begitu ganasnya.
Tak
cukup itu, seminggu yang lalu aku sempat melihat beberapa kawan wanita ku,
disalah satu kantor penjualan dan pembelian kaum kami. Saya melihat mereka
dijual dan ditawarkan di beberapa negara tetangga dengan harga layaknya jual
ayam. Semua data tentang kawan ku itu dirubahnya.
Kami
diperbodoh. Kami diguna-guna layaknya mereka menggunakan ilmu perdukunan. Tapi
tetap saja, kami juga lebih bodoh sebenarnya, kenapa kami mau saja terima harga
itu. Apa mau dikata coba, semua menuntut kami untuk menerimanya. Kami
seolah-olah berada dilabirin yang tak berbentuk dan transpran. Kami ingin
berontak, tapi tak bisalah kami lakukan itu semua. Kami lakukan itu, wah
bisa-bisa besok kami tinggal belulang saja. Seluruh bagian tubuh kami,
dicincang, dilahap, dinikmati bersama hingga disisakan belulangnya saja. Biadab
bukan, negara kami.
Sayangnya,
kami tak punya tongkat untuk melakukan magic. Kami butuh magic yang dapat
merubah ini semua. Merubah keadaan kaum kami. Kaum yang penuh dengan kenistaan.
Tak tega rasanya aku lihat kawan-kawan ku yang tersebar diseluruh pojok kota,
mereka terlihat tersenyum dan bahagia, mereka berdiri dipojok-pojok bangunan
kota yang dibilang megah itu. Mereka berdiri menawarkan sesuatu kepada setiap
orang yang lewat.
Satu
hal yang membuat aku marah manakala ketika mereka mencoba menawarkan dengan
tingkah lebih rendah dari pada binatang. Kain yang membungkus mereka itu
sepertinya lebih murah dari pada harga plastic es yang biasa digunakan oleh
penjual es di pinggir jalan.
Miris
rasanya lihat fenomena itu semua. Aku yakin mereka sebenarnya juga tidak ingin
melakukan hal itu. Sekali lagi aku yakinkan hati ini untuk bilang bahwa mereka
itu hasil penindasan dari negara biadab ini. Seharusnya negara ini melindungi
hak mereka. Mereka memiliki hak untuk dilindungi oleh negara.
Sebenarnya
hak mereka sederhana saja, mereka tidak ingin jadi konsumsi public yang terlalu
vulgar. Mereka bukan benda mati yang boleh disentuh bahkan dihancurkan. Kaum ku
itu kaum suci, kami tercipta bukan dari tulang rusuk laki-laki. Kami bukan benda
yang kotor. Dasar negara biadab yang hina. Kau katakan kau negara bhinneka yang
penuh dengan kelembutan, tapi nyatanya apa coba! Mana janji mu itu. Ah, kau ini
memang negara busuk. Sebusuk kehidupan ku sekarang.
Dua
tahun ku jalani hidup bersama pria keempat yang berhasil menjajah benda tipis
ku ini. Telah ku katakan sebelumnya bahwa dia menjajah benda tipis ku ini
dengan legal. Perjanjian yang tak bakal menyakitiku dan perjanjian untuk
menikmati benda tipis ku telah disaksikan oleh negara.
Pria
itu sudah berumur dan umurnya tidak jauh dari umurku, cuman dia terlihat lebih
tua sedikit dari ku. Sehari-hari hidupnya diabdikan di kantor kepala desa. Hati
ini kepincut dengannya karena aku berpikir masa tua ku akan terjaga dengan
pensiunnya.
“Pegawai
kantor desa” pikirku akan mendapatkan ketenangan hidup. Hidupku dari pria pertama
yang menikahi ku sampai pria keempat ini selalu berkecimpung dengan masalah
hutang piutang. Capek rasanya harus berkecimpung dengannya. Harus menata mental
manakala kantongku tak bisa memenuhi janji kepada penagih hutang, tak sedikit
raga ini rela bergesekan dengan para penagih, sekalipun dia pria.
Bagiku
ketika kita benar, tak ada salahnya kita maju. Para penagih hutang itu juga
sama-sama tercipta dari tanah. Bedanya saja derajat mereka lebih naik sedikit
dari diriku. Membiayai dua orang anak menjadi satu-satunya alasan mengapa diri
ini rela bergelut dengan dunia gila itu. Dari pria pertama yang mencicipi
derajat ku sebagai perempuan asli, kami menghasilkan dua orang anak. Untuk pria
kedua dan ketiga aku menolak untuk membuka lapak rezeki kembali. Aku rasa dua
lapak rezeki cukup. Bukan berarti aku tergila-gila dengan konsep negara ku yang
biadab, yang memaksakan aku sebagai kaum kecil untuk membuka lapak rezeki hanya
dua lapak saja.
Pernikahan
ku dengan pria keempat ini berlangsung sederhana dan sangatlah cepat. Tenda
pernikahan yang digelar pukul 1 siang, pukul 7 malam sudah dibereskan. Tak
perlulah lama-lama berdiri pasangan tua-tua yang sudah bau balsam ini, layaknya
patung-patungan sawah dan memaksakan lengkungan bulan sabit tercetak jelas di
langit-langit bibir, lengkungan yang spesial kita persembahkan kepada mereka.
Mereka
membawa sedikit kenistaan dan pembohongan rasa ikhlas yang mereka kemas dalam
pucukan kertas putih. Aku yakin mereka bernista dengan ku, dalam hati mereka
sebenarnya tidaklah rela melepaskan kertas putih itu di dalam kantung piutang
pernikahan kami, aku dan suamiku yang ketiga.
Aku
menganggap pernikahan ku ini adalah pernikahan ibu dan bapakku. Sebenarnya
mereka yang ingin menikah dengan pria tua ini. Pria berkumis dan dengan parfum
beraroma bangkai. Hitam tak hitam kulitnya. Coklatpun juga tidak. Apalagi
rambutnya, tak tega rasanya ku melihat pria itu.
“Kau
harus segera menikah dengan pria kantor kepala desa itu!” celetuk bapak dan ibu
sesaat setelah aku berhasil menyelesaikan pesanan jahitan dari orang kampong
sebelah.
“menikah
karena pension itu tidak halal buk, pak. Menikah itu dengan hati dan otak.”
Tangan kanan ku gerakkan menunjuk kepala ku.
Wanita
yang sudah tua itu butuh penjagaan dari seorang pria, sahut kedua orang tua ku.
mereka beranggapan aku akan enak dirumah, tidak perlu lagi mencari hutang sana
kemari. Tinggal menyediakan makan, minum dan menyodorkan benda tipis ku ini
padanya yang sudah tidak berharga di mata lelaki.
Menikah
dengan landasan harta, akhirnya pun berujung dengan masalah. Pernikahan ku
dengan pria busuk itu selalu diwarnai dengan percecokkan. selang beberapa bulan
menikah, kedua orang tua ku pun telah mengetahui bahwa pria buntung itu tak
memiliki pension. Dia hanya pegawai honorer yang memiliki gaji 300.000 per
bulan.
Angan
awal yang beranggapan tidak lagi berhutang, malahan hutang ku semakin menumpuk.
Menumpuk layaknya gunung. Nasi pun telah menjadi bubur, aku tak dapat melakukan
apa-apa. Mau membeli surat perceraian pun tak bisa. Harganya selangit,
prosesnya merumit bak benang basah yang menggulung. Sempat dulu aku mencoba mengurus
surat perceraian, karena ditawari oleh teman ku SMA yang saat itu telah menjadi
hakim di salah satu pengadilan negeri kota ku.
Lagi-lagi
biadab kelakuan petinggi negara ini. Dia berkata mengurus surat perceraian ku tak
akan mengeluarkan biaya, akan tetapi dia hanya meminta benda tipis ku untuk
dinikmati oleh dia dan beberapa temannya di salah satu ruang berkelas yang
menaranya bak mencakar langit. Awalnya aku piker itu hal yang sangat berat. Aku
tak rela benda tipis ku ini dijajah oleh lelaki lain lagi. Aku mencari alasan
yang tepat untuk tidak mengiyakan permintaannya. Alasan mulai dari umur ku yang
tak lagi muda sampai penyakit kelamin yang telah menggerogoti ku.
Tapi
seolah ada magic yang memaksakan bibir ini untuk mengatakan ‘mau’ menerima
permintaannya. Dia mengatakan memang benar usia ku tak lagi muda, tapi yang
mereka minta itu bukan usia. Mereka hanya meminta untuk diberikan kepuasan oleh
perempuan seperti aku, perempuan tua.
Kalau
dihitung-hitung sudah cukup rasanya untuk membiarkan para lelaki diluar sana
menjajah harga diriku. Aku sudah saatnya bangkit. Tak lagi lemah dimata mereka.
Mereka itu bukan lagi serigala yang berbulu domba, domba yang lemah layaknya
aku dan kaum ku. Mereka itu bukan lagi buaya bunting, tapi mereka itu lebih
dari itu semua. Mereka itu seolah malaikat yang mampu memberikan penjagaan pada
setiap kaum ku, seolah memberikan apa yang dibutuhkan kami (baca : kaum ku). Tapi
kenyataannya mereka itu iblis, mereka itu hanya penikmat rendahan, mereka itu
lebih rendah dari binatang.
Kini
penyesalan itu telah menderah jiwa ku yang telah terbujur kaku di dalam lubang
hitam yang bahkan lebih hitam dari crayon anak-anak ku saat menggambar. Aku hanya
dapat melihat kelakukan bejat mereka, tapi mereka tak dapat melihat amarah ku. Walaupun
aku berteriak sekencang-kencangnya sampai gendang telinganya pecah, aku jamin
mereka tak akan menggubris.
Kurang
lebih sudah 3 bulan aku seperti ini. Tapi aku merasa senang, aku tak lagi harus
menyerahkan benda tipis ku ke para lelaki biadab di luar sana. Aku tenang
disini, walaupun hanya ditemani oleh semut-semut kecil dan beberapa binatang
yang berjenis tak bertulang. Mereka membuat ku kegelian saat bibir mereka
menjilati tulang belulang ku.
Kegelian
ini kurasakan setiap hari. Tapi tak pernah aku mengeluh pada mereka yang
membuat ku kegelian. Aku merasa bahagia. Dirumah baru ku ini. aku bisa melihat
anak-anak ku pergi kemana-mana, bisa memantau seluruh kaum ku dan termasuk
suami keempat ku yang kini sedang sekarat di pojokkan ruko kampungnya. Setiap malam
dan pagi menjelang dia menggigil, dia menggeruh kesakitan karena penyakit
sifilisnya. Tak sedikit terbesit rasa kasihan saat aku melihat dia dari
kejauhan, semua orang di kampungnya membencinya, membiarkan dia tertidur di
pojokan ruko kampongnya.
Mulutku
tak berhenti menyumpahinya. Biarlah dia merasakan kesakitan yang luar biasa
saat sifilisnya menggerogoti tubuhnya. Lebih menjijikkan ketimbang wajahnya. Dan
aku beruntung tak lagi melayaninya, sesaat setelah aku melayani teman ku yang
hakim kala itu dan beberapa temannya. Mereka lah yang membuat aku bahagia
dirumah baru ku sekarang. Kalau tidak karena botol memabukkan yang melayang di
kepala ku saat itu, aku tak bakal merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Botol melayang
setelah mereka puas menikmati ku dan sesaat aku mengatakan aku ingin pulang dan
ingin mengakhiri perjumpaan ku.
Darah
pun mengalir dari kepala ku dan membuat ku tertidur sementara. Bangun-bangun
aku telah berada di rumah baru ku ini yang ramah lingkungan. Tak ada listrik
dan tak ada alat makan yang terbuat dari plastic atau sterofoam.
Baru
saja dua jam yang lalu aku berkunjung ke rumah mereka, mereka ternyata juga
punya rumah baru. Sayangnya rumah mereka sangat bau, lebih bau dari ketiak
mereka. Anehnya, mereka tak lagi tertarik dengan ku yang kala itu hadir
dihadapannya. Sebenarnya aku juga sempat bingung, kenapa ketika aku mencoba
untuk melihat mereka dan mereka pun bisa melihat aku. Padahal ketika aku
melihat orang selain mereka, orang lain itu tak dapat melihat ku.
Surabaya, 5 Mei 2013
-Nay-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar