Sabtu, 04 Mei 2013

#shortstory3


Onaantastbaar
Memang benar usiaku sudah tidak lagi muda. Tak lagi muda seperti dulu, saat benda tipisku masih terjaga dengan baik. Tapi kini benda itu tak lagi terjaga, setelah empat orang brengsek berhasil merenggutnya. Semua merenggutnya dengan legal, bahkan disaksikan oleh negara yang dikatakan juga biadab ini. Bagaimana tidak biadab, mereka sebenarnya juga menjual kami, kami kaum perempuan. Nanti bakal ku tunjukkan bagaimanan negara ini menjual dan membeli kami dengan harga yang rendah.
Mereka bertopeng manis, sampai-sampai tidak banyak orang yang tahu kelakuan negara ini negara biadab. seolah-olah mereka melindungi ku dan teman-teman ku yang diluar sana. Mereka menghadirkan program penekanan penduduk dengan kemasan nama yang menurutku menjijikkan. Program perencanaan, program apa coba itu! Kenapa mereka menekan kami dengan begitu ganasnya.
Tak cukup itu, seminggu yang lalu aku sempat melihat beberapa kawan wanita ku, disalah satu kantor penjualan dan pembelian kaum kami. Saya melihat mereka dijual dan ditawarkan di beberapa negara tetangga dengan harga layaknya jual ayam. Semua data tentang kawan ku itu dirubahnya.
Kami diperbodoh. Kami diguna-guna layaknya mereka menggunakan ilmu perdukunan. Tapi tetap saja, kami juga lebih bodoh sebenarnya, kenapa kami mau saja terima harga itu. Apa mau dikata coba, semua menuntut kami untuk menerimanya. Kami seolah-olah berada dilabirin yang tak berbentuk dan transpran. Kami ingin berontak, tapi tak bisalah kami lakukan itu semua. Kami lakukan itu, wah bisa-bisa besok kami tinggal belulang saja. Seluruh bagian tubuh kami, dicincang, dilahap, dinikmati bersama hingga disisakan belulangnya saja. Biadab bukan, negara kami.
Sayangnya, kami tak punya tongkat untuk melakukan magic. Kami butuh magic yang dapat merubah ini semua. Merubah keadaan kaum kami. Kaum yang penuh dengan kenistaan. Tak tega rasanya aku lihat kawan-kawan ku yang tersebar diseluruh pojok kota, mereka terlihat tersenyum dan bahagia, mereka berdiri dipojok-pojok bangunan kota yang dibilang megah itu. Mereka berdiri menawarkan sesuatu kepada setiap orang yang lewat.
Satu hal yang membuat aku marah manakala ketika mereka mencoba menawarkan dengan tingkah lebih rendah dari pada binatang. Kain yang membungkus mereka itu sepertinya lebih murah dari pada harga plastic es yang biasa digunakan oleh penjual es di pinggir jalan.  
Miris rasanya lihat fenomena itu semua. Aku yakin mereka sebenarnya juga tidak ingin melakukan hal itu. Sekali lagi aku yakinkan hati ini untuk bilang bahwa mereka itu hasil penindasan dari negara biadab ini. Seharusnya negara ini melindungi hak mereka. Mereka memiliki hak untuk dilindungi oleh negara.
Sebenarnya hak mereka sederhana saja, mereka tidak ingin jadi konsumsi public yang terlalu vulgar. Mereka bukan benda mati yang boleh disentuh bahkan dihancurkan. Kaum ku itu kaum suci, kami tercipta bukan dari tulang rusuk laki-laki. Kami bukan benda yang kotor. Dasar negara biadab yang hina. Kau katakan kau negara bhinneka yang penuh dengan kelembutan, tapi nyatanya apa coba! Mana janji mu itu. Ah, kau ini memang negara busuk. Sebusuk kehidupan ku sekarang.
Dua tahun ku jalani hidup bersama pria keempat yang berhasil menjajah benda tipis ku ini. Telah ku katakan sebelumnya bahwa dia menjajah benda tipis ku ini dengan legal. Perjanjian yang tak bakal menyakitiku dan perjanjian untuk menikmati benda tipis ku telah disaksikan oleh negara.
Pria itu sudah berumur dan umurnya tidak jauh dari umurku, cuman dia terlihat lebih tua sedikit dari ku. Sehari-hari hidupnya diabdikan di kantor kepala desa. Hati ini kepincut dengannya karena aku berpikir masa tua ku akan terjaga dengan pensiunnya.
“Pegawai kantor desa” pikirku akan mendapatkan ketenangan hidup. Hidupku dari pria pertama yang menikahi ku sampai pria keempat ini selalu berkecimpung dengan masalah hutang piutang. Capek rasanya harus berkecimpung dengannya. Harus menata mental manakala kantongku tak bisa memenuhi janji kepada penagih hutang, tak sedikit raga ini rela bergesekan dengan para penagih, sekalipun dia pria.
Bagiku ketika kita benar, tak ada salahnya kita maju. Para penagih hutang itu juga sama-sama tercipta dari tanah. Bedanya saja derajat mereka lebih naik sedikit dari diriku. Membiayai dua orang anak menjadi satu-satunya alasan mengapa diri ini rela bergelut dengan dunia gila itu. Dari pria pertama yang mencicipi derajat ku sebagai perempuan asli, kami menghasilkan dua orang anak. Untuk pria kedua dan ketiga aku menolak untuk membuka lapak rezeki kembali. Aku rasa dua lapak rezeki cukup. Bukan berarti aku tergila-gila dengan konsep negara ku yang biadab, yang memaksakan aku sebagai kaum kecil untuk membuka lapak rezeki hanya dua lapak saja.
Pernikahan ku dengan pria keempat ini berlangsung sederhana dan sangatlah cepat. Tenda pernikahan yang digelar pukul 1 siang, pukul 7 malam sudah dibereskan. Tak perlulah lama-lama berdiri pasangan tua-tua yang sudah bau balsam ini, layaknya patung-patungan sawah dan memaksakan lengkungan bulan sabit tercetak jelas di langit-langit bibir, lengkungan yang spesial kita persembahkan kepada mereka.
Mereka membawa sedikit kenistaan dan pembohongan rasa ikhlas yang mereka kemas dalam pucukan kertas putih. Aku yakin mereka bernista dengan ku, dalam hati mereka sebenarnya tidaklah rela melepaskan kertas putih itu di dalam kantung piutang pernikahan kami, aku dan suamiku yang ketiga.
Aku menganggap pernikahan ku ini adalah pernikahan ibu dan bapakku. Sebenarnya mereka yang ingin menikah dengan pria tua ini. Pria berkumis dan dengan parfum beraroma bangkai. Hitam tak hitam kulitnya. Coklatpun juga tidak. Apalagi rambutnya, tak tega rasanya ku melihat pria itu.
“Kau harus segera menikah dengan pria kantor kepala desa itu!” celetuk bapak dan ibu sesaat setelah aku berhasil menyelesaikan pesanan jahitan dari orang kampong sebelah.
“menikah karena pension itu tidak halal buk, pak. Menikah itu dengan hati dan otak.” Tangan kanan ku gerakkan menunjuk kepala ku.
Wanita yang sudah tua itu butuh penjagaan dari seorang pria, sahut kedua orang tua ku. mereka beranggapan aku akan enak dirumah, tidak perlu lagi mencari hutang sana kemari. Tinggal menyediakan makan, minum dan menyodorkan benda tipis ku ini padanya yang sudah tidak berharga di mata lelaki.
Menikah dengan landasan harta, akhirnya pun berujung dengan masalah. Pernikahan ku dengan pria busuk itu selalu diwarnai dengan percecokkan. selang beberapa bulan menikah, kedua orang tua ku pun telah mengetahui bahwa pria buntung itu tak memiliki pension. Dia hanya pegawai honorer yang memiliki gaji 300.000 per bulan.
Angan awal yang beranggapan tidak lagi berhutang, malahan hutang ku semakin menumpuk. Menumpuk layaknya gunung. Nasi pun telah menjadi bubur, aku tak dapat melakukan apa-apa. Mau membeli surat perceraian pun tak bisa. Harganya selangit, prosesnya merumit bak benang basah yang menggulung. Sempat dulu aku mencoba mengurus surat perceraian, karena ditawari oleh teman ku SMA yang saat itu telah menjadi hakim di salah satu pengadilan negeri kota ku.
Lagi-lagi biadab kelakuan petinggi negara ini. Dia berkata mengurus surat perceraian ku tak akan mengeluarkan biaya, akan tetapi dia hanya meminta benda tipis ku untuk dinikmati oleh dia dan beberapa temannya di salah satu ruang berkelas yang menaranya bak mencakar langit. Awalnya aku piker itu hal yang sangat berat. Aku tak rela benda tipis ku ini dijajah oleh lelaki lain lagi. Aku mencari alasan yang tepat untuk tidak mengiyakan permintaannya. Alasan mulai dari umur ku yang tak lagi muda sampai penyakit kelamin yang telah menggerogoti ku.
Tapi seolah ada magic yang memaksakan bibir ini untuk mengatakan ‘mau’ menerima permintaannya. Dia mengatakan memang benar usia ku tak lagi muda, tapi yang mereka minta itu bukan usia. Mereka hanya meminta untuk diberikan kepuasan oleh perempuan seperti aku, perempuan tua.
Kalau dihitung-hitung sudah cukup rasanya untuk membiarkan para lelaki diluar sana menjajah harga diriku. Aku sudah saatnya bangkit. Tak lagi lemah dimata mereka. Mereka itu bukan lagi serigala yang berbulu domba, domba yang lemah layaknya aku dan kaum ku. Mereka itu bukan lagi buaya bunting, tapi mereka itu lebih dari itu semua. Mereka itu seolah malaikat yang mampu memberikan penjagaan pada setiap kaum ku, seolah memberikan apa yang dibutuhkan kami (baca : kaum ku). Tapi kenyataannya mereka itu iblis, mereka itu hanya penikmat rendahan, mereka itu lebih rendah dari binatang.
Kini penyesalan itu telah menderah jiwa ku yang telah terbujur kaku di dalam lubang hitam yang bahkan lebih hitam dari crayon anak-anak ku saat menggambar. Aku hanya dapat melihat kelakukan bejat mereka, tapi mereka tak dapat melihat amarah ku. Walaupun aku berteriak sekencang-kencangnya sampai gendang telinganya pecah, aku jamin mereka tak akan menggubris.
Kurang lebih sudah 3 bulan aku seperti ini. Tapi aku merasa senang, aku tak lagi harus menyerahkan benda tipis ku ke para lelaki biadab di luar sana. Aku tenang disini, walaupun hanya ditemani oleh semut-semut kecil dan beberapa binatang yang berjenis tak bertulang. Mereka membuat ku kegelian saat bibir mereka menjilati tulang belulang ku.
Kegelian ini kurasakan setiap hari. Tapi tak pernah aku mengeluh pada mereka yang membuat ku kegelian. Aku merasa bahagia. Dirumah baru ku ini. aku bisa melihat anak-anak ku pergi kemana-mana, bisa memantau seluruh kaum ku dan termasuk suami keempat ku yang kini sedang sekarat di pojokkan ruko kampungnya. Setiap malam dan pagi menjelang dia menggigil, dia menggeruh kesakitan karena penyakit sifilisnya. Tak sedikit terbesit rasa kasihan saat aku melihat dia dari kejauhan, semua orang di kampungnya membencinya, membiarkan dia tertidur di pojokan ruko kampongnya.
Mulutku tak berhenti menyumpahinya. Biarlah dia merasakan kesakitan yang luar biasa saat sifilisnya menggerogoti tubuhnya. Lebih menjijikkan ketimbang wajahnya. Dan aku beruntung tak lagi melayaninya, sesaat setelah aku melayani teman ku yang hakim kala itu dan beberapa temannya. Mereka lah yang membuat aku bahagia dirumah baru ku sekarang. Kalau tidak karena botol memabukkan yang melayang di kepala ku saat itu, aku tak bakal merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Botol melayang setelah mereka puas menikmati ku dan sesaat aku mengatakan aku ingin pulang dan ingin mengakhiri perjumpaan ku.
Darah pun mengalir dari kepala ku dan membuat ku tertidur sementara. Bangun-bangun aku telah berada di rumah baru ku ini yang ramah lingkungan. Tak ada listrik dan tak ada alat makan yang terbuat dari plastic atau sterofoam.
Baru saja dua jam yang lalu aku berkunjung ke rumah mereka, mereka ternyata juga punya rumah baru. Sayangnya rumah mereka sangat bau, lebih bau dari ketiak mereka. Anehnya, mereka tak lagi tertarik dengan ku yang kala itu hadir dihadapannya. Sebenarnya aku juga sempat bingung, kenapa ketika aku mencoba untuk melihat mereka dan mereka pun bisa melihat aku. Padahal ketika aku melihat orang selain mereka, orang lain itu tak dapat melihat ku. 
Surabaya, 5 Mei 2013
-Nay-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar