Inilah Gaya Ku 2000an, Mana Gaya Mu?
Beruntungnya
sebuah karya sastra, meski semakin ramainya berbagai pusat-pusat
industri yang begitu menggiurkan, sastra masih dikenal oleh sebagian
masyarakat. Namun, tentu juga membawa suatu perubahan yang terlihat
jelas pada perkembangan Sastra saat ini yang begitu mempengaruhi sastra
itu sendiri. Yaitu menyangkut beberapa karakteristik yang berubah
mengikuti masanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, karakteristik
Sastra Indonesia periode 2000-an mencakup :
a. Mengangkat tema keseharian.
Pada
periode 2000-an, memang cukup banyak karya-karya sastra yang mengangkat
tema-tema tentang fenomena atau keadaan di sekitar masyarakat. Kondisi
fenomena kemasyarakatan memang memberikan pengaruh yang nyata bagi
pembuatan karya-karya satra pada masa itu. Tidak heran jika karya-karya
sastra yang muncul dianggap juga sebagai cerminan kehidupan.
b. Tema yang berlatar belakang feminisme, vulgar dan penghapusan konsep tabu.
Perjuangan
perempuan atau gerakan emansipasi wanita yang dilakukan pada masa itu
ternyata juga cukup menarik untuk dijadikan dasar dalam pembuatan karya
sastra pada era 2000-an. Oleh karena itu tidak heran jika pada masa
2000-an ini banyak dijumpai karya-karya sastra yang berlatar feminisme.
Selain itu, cerita yang begitu vulgar dimasukkan ke dalam bagian-bagian
cerita dari sebuah karya sastra. Seakan menunjukkan bahwa konsep tabu
dihilangkan dari karya sastra. Hal yang dulu dianggap tabu tapi
di tahun 2000-an menjadi sesuatu yang bukan tabu lagi. Contoh Ayu Utami
yang bergenre feminis. Sebenarnya genre feminis pada periode 20-an sudah
diangkat, namun tidak menunjukkan bagian-bagian yang dianggap tabu oleh
masyarakat. berbanding terbalik dengan karya Ayu Utami yang sama-sama
menganngkat genre feminis, namun menceritakan sisi-sisi kehidupan yang
tabu dengan begitu jelas bahkan cenderung vulgar. Salah satu contohnya, terdapat dalam novel yang berjudul Saman karya Ayu Utami.
c. Menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Filsafat
eksistensi mulai tercium di tahun 2000an, memposisikan kebebasan dalam
berekspresi. Mempersilahkan pembaca untuk memberikan pemaknaan terhadap
karya sastra itu sendiri.
d. Akulturasi western dan tradisisonal.
Bercampurnya
gaya penulisan eropa (western) dengan punya ‘kita’ yang cenderung
melibatkan kebudayaan adat, maupun tradisi. contoh : novel Madre karya
Dewi Lestari dan Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
e. Mengungkap hal yang dianggap termarginalkan.
Mengangkat
tentang fenomena yang terasingkan dan terpinggirkan oleh masyarakat,
namun diangakat dalam sebuah novel. Contoh, Atas Nama Malam karya Seno
Gumirah Ajidarma yang menceritakan tentang orang-orang malam. Yang dalam
masyarakat diasingkan begitu saja.
f. Mengggunakan
bahasa yang relatif. Maksudnya, bahasa yang dapat ditangkap oleh
pembaca secara langsung atau menggunakan bahasa sehari-hari.
g. Muncul kata-kata baru dan romantisme.
Produktivitas
diksi lebih kaya. Munculnya konsepsi karya sastra yang chicken soup,
karya sastra yang simple, tidak terlalu rumit dalam penceritaan.
h. Romantisme
menjadi salah satu pilihan gaya penceritaan, contoh “Madre”. Selain
romantisme, religiusm menjadi salah satu dinataranya dari gaya
kepenulisan karya sastra di tahun 2000.
i. Muncul kesetaraan gender.
Masalah
kesetaraan gender ini juga hampir sama maknanya dengan istilah
feminisme, dan hal ini juga digunakan sebagai topik dasar yang dapat
diacu dalam pembuatan karya-karya sastra pada masa 2000-an.
j. Karya
Sastra komersil (testimoni) dan film. Saat ini memang, sedang marak dan
beredar karya-karya sastra yang mencantumkan beberapa testimoni dari
beberapa orang yang dianggap berpengaruh terhadap karya sastra tersebut.
Menganggap bahwa testimoni tersebut dapat menunjang keberhasilan suatu
karya sastra. Selain itu, akhir-akhir ini pun banyak karya-karya sastra
yang di filmkan. Bahkan, beberapa diantaranya memang sengaja dibuat
untuk di filmkan. Karya sastra yang menggunakan testimoni dan karya
sastra yang di filmkan sebagai pendukung, memiliki dampak bagi
perkembangan karya sastra itu sendiri. Berpengaruh pada penilaian bagus
dan tidaknya suatu karya sastra pun mulai berubah. Sebagai akibatnya, munculnya
konsepsi bahwa karya sastra yang ‘baik’ adalah dia yang memiliki nilai
materi yang besar. Untuk mencapai nilai materi yang besar, maka karya
sastra tersebut harus diperfilmkan. Untuk pemilihan karya sastra mana
yang akan diperfilmkan tentunya harus sesuai dengan permintaan pasar
serta harus memiliki nilai jual lebih.
Akibat
lain yang ditimbulkan adalah tidak lagi diutamakan karya sastra yang
bernilai estetik, menjadi substansinya adalah karya sastra yang mampu
dilempar ke pasar untuk memenuhi hasrat praktik kapitalis. Hilangnya
konsepsi orientasi dari karya sastra, bilamana di kajian kesusasteraan
kita mengenal ada dua fungsi dari karya sastra yakni dulce et utile.
Kami rasa fungsi itu lamban laun memudar. “Maka nilai bukanlah produk
dari moda produksi spesifik tetapi eksis dalam kemungkinan pertukaran
komoditi.” (Richard Schacht, 1970 : X)
k. Media sastra yang lebih luas.
Sastra saat ini dapat dinikmati dalam berbagai media. Seperti di koran (Jawa Pos, Tempo, Kompas) dan di internet.
l. Munculnya karya sastra yang lebih beragam dan bervariatif
Misalnya pada sastra Indonesia yang bergenre gothik, seperti karya sastra yang dibuat oleh Intan Paramadhita.
Sastra yang berjenis sciencetific. Contohnya Harry Potter, Da Vinci Code, Angel and Demon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar