Kajian Analisa “Dekonstruksi”
Cerita Pendek Perempuan Buta Tanpa Ibu
Jari
Karya Intan Paramditha
Karya
sastra terlahirkan dari proses kreatif disetiap pengarang yang telah
menghasilkan sebuah karya sastra. Disetiap proses kreatif itulah dipercaya
adanya sentuhan kenyataan yang dimasukkan oleh pengarang dikarya sastranya dan
atau bahkan karya sastra yang berhasil di tulisnya merupakan wujud
kekreativitasannya atas inovasi dari karya sastra lainnya, adanya interpretasi
dari karya sastra lainnya. Sehingga memang dibutuhkan adanya satu upaya yang
dapat memudahkan seorang pembaca untuk memahami karya sastra yang dibacanya.
Berbagai teori yang dapat kita pilih untuk mengapresiasi sebuah karya sastra.
Salah satu teori yang dapat kita pergunakan adalah teori dekonstruksi. Tidak
sembarang karya sastra dapat diterapkan teori dekonstruksi[1]
untuk mengapresiasinya.
Teori
yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida
tersebut akan saya gunakan untuk mengapresiasi karya sastra dari Intan
Paramaditha dengan judul “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”. Satu alasan kenapa
cerpen dari Intan Paramaditha dapat dianalisa dengan teori dekonstruksi karena
cerpen tersebut memiliki trace (jejak) dengan cerita lainnya – cerita klasik
dari “Cinderella”. Karya sastra yang dapat didekonstruksi adalah dia yang
memiliki jejak dengan cerita lainnya dan juga dia (baca : cerita) lebih kepada
menegakkan bendera “oposisi binner”[2].
Pembaca akan diingatkan oleh jejak-jejak yang ada di cerita Cinderella.
Jejak
yang berhasil mengingatkan saya kalau seandainya cerpen “Sindelarat” merupakan
cerita yang mirip dengan cerita klasik Cinderella, adanya :
1. Nama
yang mirip dengan Cinderela menjadi Sindelarat
2. Sepatu
3. Sepupu
tiri dan ibu tiri
4. Pangeran
5. Ibu
peri
6. Penyiksaan
terhadap sinderelarat seperti Cinderella
7. Sayembara
pencarian sepatu
8. Pesta
9. Menikah
dengan pangeran
10. Sifat
buruk dari ibu tiri dan saudara tiri
Kemudian
dari jejak tersebut Intan Paramadhita mencoba untuk mengubah konsepsi dari
cerita Cinderella menjadi lain dan cerita tesebut berubah menjadi “Perempuan
Buta Tanpa Ibu Jari”. Saya akan mencoba membandingkan cerita Cinderella dari
versi perubahan dekonstruksi dari Intan Paramditha, diantaranya :
- Penokohan yang dulunya bernama Cinderella diganti oleh Intan menjadi Sindellarat.
- Sifat ibu peri yang sejatinya adalah sifat baik yang ditampilkan oleh Cinderella asli, maka di tangan Intan sifat ibu peri diganti menjadi jahat. Digambarkan sifat ibu peri PBTIJ jahat dan menyimpan rasa dendam suka membalas kelaukan jahat para saudara tiri Sindelarat kepada Sindelarat.
- Narrator, kalau di dalam cerpen Cinderella asli yang bercerita adalah orang lain, maka di cerita PBTIJ sudut pandang – PoV (point of view) pencerita dari saudara tiri.
- Pengorbanan yang ditampilkan oleh kedua saudara tiri dari Sindellarat ketika memperebutkan sepatu. Di dalam Cinderella, saudara tiri dari Cinderella tidak perlu melakukan peengorbanan hingga kakinya lcet. Sedangkan di dalam PBTIJ saudara tirinya melakukan pemotongan bagian kakinya (mutilasi), supaya kakinya dapat masuk dalam sepatunya.
- Ibu tiri yang mati.
Kehadiran
ibu tiri memang yang paling ditunggu saat membaca cerita “cinderella”. Beegitu
juga dengan PBTIJ, pembaca dimanjakan dengan kehadiran tokoh ibu tiri.
Sayangnya, kehadiran ibu tiri ini oleh Intan hanya sebentar saja. Hal itu
disebabkan Intan melakukan penokohan ibu tiri yang mati di ujung cerita. Itu
pastinya berbalik arah dengan cerita Cinderella yang aslinya. Cinderella asli,
peenokohan ibu tiri tidaklah dibuat mati, tapi hidup bahagia dengan anak
kandungnya (saudara tiri dari Cinderella) dan tentunya hidup dengan anak
tirinya cindereella di istananya.
- Labelisasi social “balon” pada Ibu Tiri
Munculnya
labelisasi social pada masyarakat pasti
berdasarkan pengmatan social kemasyarakatan akan sesuatu hal. Di dalam PBTIJ
ini, penokohan dari ibu tiri ternyata menndapatkan labelisasi “balon”, kalau
diinterpretasikan di lingkungan masyarakat – perempuan ‘balon’ adlaah perempuan
yang suka dan hobi menikah – cerai – menikah – kemudian cerai. Lagi-lagi, di beroposisi dengan cerita
aslinya, namanya juga dekonstruksi J.
Kalau di Cinderella, ibu tririnya tidak digambarkan secara mendetail dengan
menikah hingga tiga kali, kalau di PBTIJ peenokohan itu digambarkan menikah
hingga tiga kali, sehingga masyarakat pun pegal melihat tingkahnya dan disemayamkanlah
nama ‘balon’ untuk ibu tiri dari Sindelarat.
- Saudara tiri
Usaha
saudara tiri dari Cinderella akan
menjadi istrinya pangeran pun terlihat sia-sia, didalam crita Cinderella.
Mengapa ? hal itu disebabkan saudara tiri tidak berhasil menggunakan septum
kaca yang ditemukan pangeran dan pangeran pun dengan sigap mencari perempuan
yang pas dengan sepatu itu , hingga akhirnya ‘cindi’ (sebutan Cinderella) pun
ditmukan diatas loteng. Kemudian
digunakanlah sepatu itu padanya, ‘pas’ dan dibawanya pergi Cinderella ke
istananya. PBTIJ dibuat lebih panjang. Pembaca harus menemui saudara tirinya
Sindelarat menaiki kereta pangeran, karena mereka sempat berhasil memasukkan
kaki mereka di dalam sepatu dari pangeran. Di dalam perjalanan, kedua saudara
tiri itu mendapatkan musibah, kereta
yang merka tumpangi pun diganggu oleh sekelompok gagak yang berhasil
menunjukkan bahwa mereka perempuan yang palsu.
- ‘darah’
Unsur
cerita menjadi paling penting saat cerita dibuat. Dan yang paling penting
adalah unsur tersebut akan mempengaruhi pangsa pasar dari cerita itu.
Cinderella dibuat untuk konsumsi anak-anak. Kemudian kalau ditanya. Lalu
bagaimana dengan PBTIJ? Apakah untuk anak-anak juga. Saya jawab tidak. Mengapa?
Hal itu disebabkan ada unsur yang membuat cerita ini dilarang untuk anak-anak,
yakni unsur darah. Darah ditunujukkan oleh Intan pada saat menggambarkan
saudara tiri Sindelarat memotong bagian kakinya, supaya kakinya cukup masuk ke
sepatu yang dibawa oleh sang pangeran.
Kesimpulannya
Ceerita
Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karya Intan Paramadhita meerupakan gambaran
contoh kecil dari karya sastra yang dapat dianalisis dengan menggunakan metodee
“dekonstruksi”. Metode yang menghadirkan analisa untuk menganalisis trace
(jejak_ pada karya sastra sebelumnya, hingga mencoba mencari oposisi binner
yang ada didalam sebuah karya sastra ganda. Jelas bilamana karya ini dapat
dikatakan sebuah karya yang “ditunda” akhir ceritanya. Cerita ini saya katakana
ditunda karena, pada bagian akhir kita tidak dapat mengetahui apakah saudara tirinya
akan mati? Ataukah hidup bahagia dengan mata sumbangan? Karena di dalam
PBTIJ-kan saudara tirinya buta. Sedangkan untuk Sidellarat pun dibuat oleh
Intan mati.
Kemudian
tidak berhenti disitu juga, karya PBTIJ
ini sarat akan nila kemasyarakatan yang tinggi. Pertama mulai dari penokohan
yang digambarkan oleh Intan – saudara tirinya, saat memotong bagian kakinya.
Dia rela memotong kakinya demi sebuah kehidupan yang enak dan dipandang oleh
pria sebagai perempuan tercantik saat dirinya berhasil memasukkan kakinya ke
dalam sepatu itu. Sama persis pada keadaan yang terjadi sekarang.
Perempuan-perempuan di era sekarang rela sakit demi terlihat cantik dan rupawan
dipandang oleh pria. Kedua, labelisasi perempuan ‘balon’ sebagai perempuan
nakal yang digambarkan oleeh Intan melalui peenokohan Ibu tirinya. Ktiga,
filosofis penderitaan perempuan yang setelah melahirkan pasti akan tidak
terlihat cantik lagi, malahan urat-urat yang ada ditubuh akan terlihat gelembor. Terakhir, hidup itu harus
realistis. Prinsip itu dicetuskan oleh penokohan Sindelarat, dan digambarkan
oleh Saudara tirinya saat bercerita mengenai bagaimana kepribadian sosok
Sindelarat. Sosok sindelarat yang digammbarkan sebagai perempuan pembohong, dia
mengaku tidak butuh materi untuk hidupnya. Sedangkan hidup yang paling bahagia
keetika kita juga ada materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar