Senin, 24 September 2012


Izinkan Diri Ini Untuk Berumah Tangga dengan Heroboyo Cities
Panasnya kota pahlawan memang telah berhasil MEMBAKAR semangat ku untuk tetap berjalan dalam mengarungi bahtera rumah tangga ku bersama Hero Cities :D hehe.. Sejak diriku resmi menjadi mahasiswa Universitas Airlangga dengan jurusan sastra Indonesia, hampir seluruh aktivitas ku terhabiskan di kota Pahlawan ini. Dulu kota asal ku adalah Sidoarjo, dengan berat hati setelah diri ini bolak-balik Sidoarjo-Surabaya dan merasa raga ini tak sanggup lagi untuk menjalani perjalanan jauh lagi. Akhirnya aku putuskan untuk bercerai dari kota yang terkenal penghasil udang dan menetap di Surabaya bersama mama dan kami menumpang di rumah tante. Sempat terbesit dalam pikiran ku saat diri ini bertranmigrasi ke Surabaya banyak hal yang dapat aku lakukan. Salah satunya adalah pembangunan jaringan pertemanan yang luas. Dan kini diri ini telah menetap menjadi warga sah Surabaya. Banyak keunikan yang ku temukan di kota Pahlawan ini diantaranya adalah :
1.      Perilaku yang hedonis
Hari pertama ku kuliah ku lalui dengan kegagukan sikap. Aku tak mengenal siapapun, semua orang disekitar ku juga asing untukku. Ku paksakan diri ini untuk berkenalan dengan mereka, ku amati perlahan tindak perilaku mereka dan benar-benar membuat diri ini menganga. Dinamika dunia perkuliahan tidak hanya berkompetisi pada manfaat keilmuan, namun sebagian teman-teman kampus ku bersikap oposisi dari horizon ku yakni berkompetisi pula dalam dunia senang-senang. Mayoritas teman-teman yang bersikap hedonis adalah teman-teman ku yang masuk perguruan tinggi melalui jalur mandiri. Jelas benar perilaku mereka saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan ku. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah belanja..belanja dan belanja. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala saja saat mereka mencoba menawari ku untuk ikut bergabung dengan dunia mereka. Geleng-geleng kepalaku mewakili semua perasaan ku atas kekecewaan ku melihat perilaku mereka. Diri ini sadar diri atas kondisi keluarga ku. Aku tak seperti mereka yang memiliki kesmepatan untuk mempunyai uang berlimpah, sedangkan diri ini harus membantu mencari uang untuk keluarga. Hedonis mereka membuahkan hasil yakni tindak konsumerisme. Sedikit-sedikit barang yang harus dibeli harus branded. Kalau tidak branded tidak layak untuk dibeli dan tangan mereka sepertinya akan korengan bilamana barang yang mereka punya adalah barang non branded. Hadehh.. pelissss.. branded hari gini, mati saja dilaut. Selain teman-teman ku, kelihatannya barang branded sepertinya juga telah melekat di sebagian dosen pengajar ku di fakultas. Hampir semua barang-barang yang mereka gunakan adalah barang-barang mahal. Sempat aku terdiam saat melihat salah satu dosen, ku namai dosen MR.X barang-barang yang beliau gunakan branded semua. Asyem, ini ajang pamer barang atau ajang pentransferan ilmu sebenarnya. Haduhh...haduhhhh bapak... lawong dosennya aja hedon bagaimana dengan muridnya. Beuh...beuh.
2.      Materialisme
Semua dihitung dari besaran nilai dan benda. Kalau masa SMA ku dulu aku mempunyai visualisasi mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi, sekiranya sistem pendidikan ketika diri ini merasakan bangku perkuliahan agak sedikit berbeda dari segi konsep proses belajar mengajarnya. ternyata tiengg...tienggg, SAMA saja. Bedanya cuman kalau di SMA proses belajar mengajarnya seluruhnya pakai spidol dan white board. Kalau di perguran tinggi sebagian besar proses belajar mengajar tidak lagi hanya ditunjang dengan media white board akan tetapi juga ditunjang dengan adanya LCD. Lalu persamaannya dimana dimasproff? Persamaannya di konsep pengajarannya yakni DDCH (Duduk Diam Catat Hafal), wujudnya adalah dosen lebih banyak ceramah. “Lah emang dipikir ini kelas khotbah?” :D
Tidak berhenti disitu saja, sebagian besar dosen yang ada menerapkan sistem pengabadian nilai. Nilai banyak dianggap sebagai hal yang mutlak berpengaruh, padahal kalau boleh berpendapat tidak hanya suatu nilai saja yang dapat berpengaruh menjadikan seorang mahasiswa yang berkompeten, melainkan sebuah proses juga yang perlu diperhitungkan.
3.      Interakasi yang liar
Kata “Janc*k” mungkin sudah menjadi tradisi dan wajib dikatakan acap kali kita berkomunikasi dengan sebagian mahasiswa yang telah senior. Ada yang bilang kata keramat Surabaya tersebut sudah tidak dapat ditawar kembali. Itu sudah bernilai mutlak.
Semoga dengan diri ku telah resmi berumah tangga dengan kota pahlawan ini, aku dapat mengarungi gelombang permasalahan rumah tangga agar menjadi pribadi yang lebih baik dan dapat menjadi pemimpin untuk kota Boyo ini. dan untunnggnya aku dipertemukan MEREKA... JONGGRING SALOKA :)

Bersama mereka kini aku siap untuk menentang arus budaya Surabaya, dan dengan mereka ditahun ini aku mampu menghasilkan sebuah karya yakni buku "7 Menara Hati Bunda". Love Their :*
inilah cover buku yang akan kami create  dan kami masih berusaha untuk merancang softlaunching buku kami ini .. doakan yahh proffalic :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar