Jumat, 24 Agustus 2012


THE NATION OWN IDENTITY DECONSTRUCT CASE STUDY ON SOCIAL CHANGE AND DIALECTS OF LANGUAGE BROUGHT 
BY THE HEROES OF THE FOREIGN EXCHANGE

TKI’s programs to be one favorite program for developing countries like Indonesia, the population of the world's fourth most populous in the 237.6 million people (BPS, 2010). Generally, the objective of this exchange program is a community hero of the village. Recent sources state the number of foreign heroes who succeeded Garuda distributed by the State to the State of South Korea as many as 9900 people. The most powerful reason why the villagers become heroes of the majority of participants in foreign exchange is due to demographic landscape and not less than the maximum capacity to support employment. This exchange program so that the hero, made an effective program to overcome the lack of facilities as well as the demographics of the village and event support their work. Unfortunately, the government does not pay attention to the distribution of potential managerial workers. Indeed, this government program could be a boomerang and can deconstruct the character qualities of language and social systems of thought. This is due to the character of the individual linguistic quality is increased. Increase the quality of language gained from training workers before their departure to the destination country, other than that in terms of parole or personal dialect parole be internalized by a foreign language is no longer internalize the local parole. And the effects last is a personal system of thought that would change its character. Changes in the personal character it is more apathy (indifference to surroundings), pragmatic (practical thinking is oriented to expediency alone) and materialist-oriented point of the material alone. In the end thought it would affect the whole pattern of personal behavior in social interaction. Thus, the conclusion that we can take is the hero of the foreign exchange program can be assumed to be a killer program ideological character of national identity through language and behavior change.

Kamis, 02 Agustus 2012


Abdikasi Mahasiswa Indonesia Konteks Keilmuan Kontemporer
Oleh “Dimas Nur Apri Yanto”

Spanduk job fair terpasang diberbagai sudut universitas ternama. Tak sedikit company ternama pula terpampang di spanduk dengan tulisan “sponsored by”.  Begitulah gambaran kondisi jalanan saat saya meluncur kearah salah satu PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ternama di Surabaya tempat saya belajar. Miris rasanya saat melihat kakak angkatan atas saya berlomba-lomba dalam mencari galian kesempatan untuk bekerja. Dengan bermodalkan ijasah dan beberapa sertifikat serta tampilan face yang bercasingkan oke. Agenda job fair seolah-olah kini menjadi agenda tahunan yang bersifat fardhu ain oleh PT, baik PTS maupun PTN. Sesungguhnya agenda tersebut dapat menjadi boomerang tersendiri dalam peranan keilmuan yang sebelumnya teman-teman mahasiswa dapatkan saat dibangku kuliah. Padahal saya ingat sekali saat moment OSPEK (orientasi pengenalan kampus) dimana saat itu digembar-gemborkan bahwa mahasiswa di zaman kontemporer sudah bukan saatnya menjadi pekerja, harus menjadi owner, entah owner apa yang harus kami miliki nantinya. Kelihatannya perkataan tersebut sudah tak ada esensinya. Bagaimana tidak? Pihak PT dosen sendiri yang mengatakan sudah tak zamannya menjadi pekerja, harus menjadi owner, akan tetapi PT sendiri pula yang secara tidak langsung mencetak mahasiswanya menjadi pekerja dengan menyelenggarakan agenda job fair. Alih-alih asumsi dasar dari penyelenggaran kegiatan tersebut ialah untuk pendampingan mahasiswa dalam dunia kerja. Benar-benar asumsi dasar yang bersenjata makan tuan.
Spekulasi mendasar mencuat bahwa adanya abdikasi (penurunan jabatan mahasiswa konteks kelimuan dan pemikiran yang kritis) mahasiswa dalam kompetensi keilmuan, sesungguhnya hakikat dari sebuah ilmu adalah suatu pemikiran bagian dari pengetahuan  yang nantinya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan diluar. Bagaimana caranya mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahan diluar konteks masyarakat dengan teori keilmuan yang mahasiswa didapat selama proses belajar, bilamana kompetensi keilmuan mereka dimatikan begitu saja oleh pihak PT dengan penyelenggaran job fair. Selain itu adanya penyelenggaraan job fair juga dapat mencetak kepribadian mahasiswa yang hanya berorientasikan pada system kerja bukan pada system keilmuan. Dan yang terakhir penyelenggaran job fair dapat menciptakan pemikiran mahasiswa yang pragmatis. Kalau sejenak kita keluar untuk menengok realitas PT dalam penyediaan pekerjaan yang dapat menunjang kompetensi keilmuan, tak sedikit PT mampu menyediakan hal itu. mereka berpikir dengan penyelenggaraan job fair dapat dtuntaskan, padahal itu semua salah.